<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d6735511\x26blogName\x3ddodYmania+-+a+daring+adventure\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://dodymania.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://dodymania.blogspot.com/\x26vt\x3d-6947541969606263846', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
a daring adventure...
Profile | Blog | Fellow Blogger | Links | Gallery
Tuesday, June 07, 2005

 Sang Ratu Sejagat: Yang Dipuja & Yang Dicela



Viva Artika!
Kiranya saya patut menyampaikan ucapan selamat untuk Artika Sari Devi atas prestasi yang diraihnya. Pencapaian hingga peringkat 15 besar tentunya cukup membayar jerih payahnya selama dua pekan lebih dalam menjalani serangkaian prosesi dan setumpuk kegiatan yang melelahkan itu. Mungkin ada benar juga akan selentingan tentang mengapa Artika tidak lolos ke tahap selanjutnya. Aduh... ngga lucu kan kalau sampai Artika menjadi Miss Universe kemudian berkunjung ke suatu negara dengan didampingi oleh (let say) Miss Canada yang tingginya "setiang listrik" :-p lalu bisa-bisa orang mencibir "apakah semua orang Indonesia sependek kamu?" Duh duh... ini bener-bener ngga sopan :-) Wwhaaaakkzz.. maap yah! heuheuehue!

Kontroversi Membawa Berkah
"Prestasi" masuk peringkat 15-besar itu pun kiranya mampu menjadi sedikit pelipur lara di tengah maraknya hujan kontroversi di negeri sendiri. Lumayan lah, satu-satunya wakil Asia di posisi 15-besar... dapet duit lumayan banyak pula, hihihi. Pemberitaan kontroversi ini tidak hanya terjadi di tanah air. Tak kurang berbagai media asing pun turut menuliskan polemik ini dalam beberapa terbitannya. Jadi yang ikut-ikutan "menikmati" kehebohan kontroversi itu tampaknya bukan hanya kita di tanah air. Hal seperti ini mau tak mau memang sudah menjadi konsumsi global. Tapi mungkin kah masuknya Artika ke dalam peringkat 15-besar tersebut dikarenakan santernya kontroversi di negeri kita? Mengingat sesuatu yang sensasional seperti ini pastinya bisa mengundang banyak simpati di sesama peserta maupun panitia dan dewan juri. Namun biar lah ini semua menjadi rahasia di antara dewan juri sekalian, kita tak perlu berburuk sangka :-) Hiehiehiehie.

Di Balik Perisai "Budaya"
Soal polemik kepatutan yang dikaitkan dengan masalah budaya kiranya hal ini memang tak akan ada habisnya. Saya melihatnya sebagai penggunaan budaya yang diposisikan sebagai "alat" oleh sebagian pihak yang menentang pihak yang lain. Budaya tak lebih diposisikan sebagai tameng alias perisai dalam usaha menyulut api kontroversi. Di lain pihak, sebagian masyarakat menyatakan dukungan mereka demi memajukan pariwisata di negeri ini (katanya sih). Seberapa maju kah perkembangan pariwisata kita sebagai akibat keikutsertaan dalam kontes Miss Universe ini? Adakah pengukuran peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke negri kita bisa dikaitkan dengan hal ini? Wah, saya kok belum pernah dengan penelitian semacam ini ya?

Merujuk pada salah satu posting terbaru dari Mas Q dengan mengacu pada sub-judul "Budaya Yang Mana", kita pun mau tak mau dibuat mengeryitkan dahi. Budaya Timur itu budaya yang mana? Lalu budaya Barat itu yang seperti apa? Dalam sebuah masyarakat yang begitu jamak (baca: negri ini) kiranya sulit sekali menentukan batasan budaya yang diterima secara umum. Sesuatu yang dianggap patut oleh budaya masyarakat tertentu bisa jasa dipandang berlawanan pada masyarakat yang lain meski masih berada di dalam batasan satu negara yang sama. Definisi "masyarakat umum" pun menjadi semakin kabur. Sebenarnya berapa kah batasan (dalam satuan jumlah jiwa manusia) yang patut digunakan untuk bisa diklaim sebagai "masyarakat umum"? Seratus orang? Seribu, sejuta, sepuluh juta, seratus juta? Dalam kemajuan zaman dengan arus pertukaran informasi yang maha cepat seperti saat ini, batasan-batasan itu semakin pudar hingga sering kali sulit dibedakan. Polemik ini pun berlanjut lebih jauh: siapa sih yang sebenarnya diklaim sebagai masyarakat penganut budaya Timur? Ada berapa jumlah masyarakat penganut budaya Barat? Nah lhoo... pusing aja ngitungnya!

Padahal kalau kita mau menilik lebih jauh ke dalam, sebenarnya yang lebih parah pun masih banyak sekali terjadi di tanah air. Ambil saja contoh perhelatan pesta dugem yang disertai pertunjukan "sexy dancers" kiranya sudah terlalu marak dan jamak hingga kita pun tak lagi mempedulikannya. Dengan kostum "super mini" sang penari bergoyang "panas" untuk memuaskan nafsu "pengunjung" yang ada. Belum lagi dengan sederatan kontes kostum bohay-bahenol yang "berlindung" di balik tajuk "fashion show" di berbagai night club dan arena dugem tersebut. Apa kah iya benar itu sebuah "fashion show"? Benar kah pengunjung datang untuk menikmati sebuah acara peragaan busana? Oh.. c'mon... mereka bahkan tidak tahu siapa desainernya atau merk apa yang sedang dipertunjukkan. Yang penting 'kan semakin mini kostum yg dipakai maka semakin bohay pula penampilan sang model. Lalu apa kah itu semua pantas? Kalau tidak toh nyatanya masih saja banyak "menjamur" bak cendawan di musim hujan. Kenapa ngga yang beginian aja yang diberantas? Hehehe :-)

Mas Q says:
Para pemrotes itu berdalih kalo mereka keberatan dengan Artika membawa nama "Indonesia", yang seolah2 menjadi wakil dari seluruh wanita yang ada di Indonesia. Mungkin kalo Artika membawa nama dia sendiri, atau membawa nama Yayasan Putri Indonesia, tidak akan sekeras itu protes yang terjadi. Sebagaimana saat model Indo ikutan Elite Models Look Int. yang juga dituntut pake baju mini, mereka membawa nama mereka sendiri, nama negara hanya embel2.



dodY says: Keterwakilan Yang Tidak Sepenuhnya Mewakili
Mungkin sekali lagi kita patut berpikir lebih dalam. Seberapa mampu kah seseorang atau sebuah badan / organisasi melaksanakan fungsi perwakilan yang diembannya? Ambil saja contoh Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR. As you can see... its name says it all. Namun bila kita mau berpikir "sedikit nakal", sesungguhnya seberapa "mewakili" kah DPR kita terhadap aspirasi rakyat? Saya rasa memang lah tidak terlalu mewakili. Kalau pun iya tentunya jumlah masyarakat yang datang untuk mengadukan permasalahan mereka ke gedung DPR tidak sebanyak saat ini. Dari mana DPR mendapatkan endorsement untuk menyandang gelar sebagai "wakil rakyat"? It's the bloody election for heaven's sake! Padahal kita tahu kalau betapa pun jujur dan adilnya sebuah pemilu, tak kan sanggup dia membawa "SELURUH" aspirasi rakyat. Jika memang begini adanya, haruskah DPR berubah nama menjadi "Dewan Perwakilan Sebagian Besar Rakyat" alias DPSBR?

Begitu juga dengan Artika. Adakah pemerintah ikut campur tangan dalam pengirimannya ke ajang kelas dunia ini? Wah, saya kok belum pernah dengar berita semacam ini ya? Lalu mengapa Artika memakai selempang yang bertuliskan sembilan huruf yang berbunyi: INDONESIA? Ngga fair, 'kan? Kalau memang mau fair seharusnya selempang yang dikenakan Artika bertuliskan "Yayasan Putri Indonesia, Official License Holder of Miss Universe Foundation for Indonesia Region". Tak dapat disangkal lagi, si tukang sablon pun sontak naik pitam. Mana muat tulisan sebanyak itu dicetak di atas selempang? Panitia yang tak mau ambil pusing pun mengambil "jalan pintas" dengan menuliskan label "INDONESIA" di atas selempang tersebut. Jadi penulisan label "INDONESIA" di atas selempang tersebut tidak harus selalu diartikan sebagai keterwakilan seluruh rakyat Indonesia pada diri Artika. Sekarang tinggal bagaimana kita bisa bersikap arif dan bijak dalam menanggapi pemikiran semacam ini.

Conflict of Interest Yang Tak Berujung
Apa yang disampaikan Nauval dalam istilah "conflict of interest" pun ada benarnya. Bagaikan minyak dan air yang sama-sama memiliki sifat mengalir, namun keduanya memiliki substansi dasar yang amat berbeda. Satu pihak bersikukuh menentang dengan alasan kepatutan (demi moral dan kemajuan bangsa) sedang pihak lain mendukung dalam alasan kemajuan pariwisata (demi kemakmuran dan kemajuan bangsa). Pusing pisan... kok semua selalu bertentangan ya? Agaknya susah untuk menyangkal perujukan sebuah bentuk budaya kepada syariat agama yang dianut oleh masyarakat di dalamnya. Pada sebuah masyarakat yang religius peran agama begitu kuat hingga terkadang batasan mana yang dikategorikan sebagai agama dan mana yang disebut budaya menjadi semakin tipis. Nah, hal ini lah yang membuatnya persengketaan tersebut semakin tajam. Apa pasal? Lahirnya these so called "budaya Barat/modern" bisa dipandang sebagai sebuah "perlawanan" terhadap "budaya Timur". Pada sebuah masyarakat yang amat majemuk, patut kah persengketaan semacam ini diperuncing? Kalau ribut-ribut terus macam ini lalu kapan kita bisa melaksanakan pembangunan? Wah wah... bisa-bisa pemberdayaan UMKM tidak mendapat perhatian sama sekali donk!? Hehehe... viva Community-Development :-)

Menengahi pertentangan itu, kiranya boleh saya mengajukan sebuah pemikiran sederhana: budaya memiliki sifat yang dinamis alias selalu berkembangan. Batasan-batasan antara Barat dan Timur bisa dikata semakin tipis dan kabur. Dalam masa modern dengan cepatnya arus pertukaran informasi pergeseran dan perkembangan budaya berlangsung bak lesatan kilat. Apa yang dianggap tidak patut beberapa tahun lalu bisa saja berbalik menjadi hal yang pantas di masa sekarang. Demikian pula berlaku sebaliknya. Mungkin ada baiknya bila kita bisa menyikapi dinamika budaya tersebut dalam perspektif yang lebih bijaksana. Jadi... ngga perlu ribut-ribut begitu 'kan? hehehe!

Mas Q says:
Masalahnya, para pemuka agama merasa perlu untuk memasukkan nilai2 agama dalam budaya masyarakat, agar moral masyarakat bisa terjaga dalam koridor aturan agama. Karena bagi para pemuka agama yang telah menjadikan agama sebagai pedoman utama kehidupan, merasa bahwa di pundak mereka terdapat tanggung jawab untuk mengingatkan umatnya, mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Tapi ya, ternyata tidak semua penganut agama merasa perlu menjadikan aturan agama mutlak secara bulat mengatur perilaku hidupnya. Agama hanya diperlukan saat melakukan ritual, di saat lain mereka merasa risih kalo agama ikut2an mengatur.

Ribut2 semacam ini tetap perlu kok, sebagai sarana pendewasaan. Tapi kayaknya memang nggak akan pernah ketemu, karena masing2 punya pedoman yang tidak bisa dikompromi


dodY says:
Tak dapat disangkal lagi, landasan Ketuhanan Yang Maha Esa memang mendasari kehidupan bernegara di tanah air kita. Pencantumannya di dalam UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara mau tak mau membuat aspek ini menjadi landasan yang fundamental dari berbagai kegiatan. Negara mengadopsi konsep ini dengan memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada rakyat untuk menjalankannya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Yang patut menjadi pertanyaan adalah: sampai sejauh mana kah konsep ini menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat? Tidak kah pelaksanaan ritual keagamaan memiliki sifat yang amat personal, menyangkut hubungan antara masing-masing individu langsung dengan Tuhannya? Pardon me bila ada kesalahan dalam interpretasi subyektif ini. Jika memang mengedepankan penegakkan sebuah pedoman tertentu maka selanjutnya adalah: pedoman yang mana? Ada kah pedoman tersebut dianut oleh semua komponen yang menyusun sebuah masyarakat? Tidak kah keragaman yang ada pada masyarakat kita patut menjadi sebuah pertimbangan sebelum usulan tersebut diajukan?

Ribut-ribut itu memang perlu ya, Mas? Sarana pendewasaan? Hehehe... mungkin lebih tepatnya berbagai posting kita ini lah yang patut disebut sebagai sarana pendewasaan yang ampuh :-p *arogansi blogger mode on* Huehuehue!

Beauty Versus Brain
Lalu bagaimana dengan ajang Miss Universe yang diklaim mengedepankan aspek beauty, brain and behavior? Harus diakui kalau di sini sulit sekali menemukan adanya esensi yang signifikan dari akan kontes intelegensia. Seberapakah pengukuran "kecanggihan" aspek "brain" dalam seorang ratu sejagat itu? Diukur dengan IPK? Diukur dengan hasil penelitian dan karya ilmiah? Kok rasanya masih kontroversial sekali ya? Jadi dalam tinjauan dangkal, ajang ini bisa dipandang sebagai sebuah beauty pageant dengan kedok kontes intelejensia. Mau tak mau keunggulan dari segi fisik masih menjadi pertimbangan yang utama. Urusan kecerdasan menempati urutan tiga-puluh-tujuh dibanding dengan kemolekan yang menempati prioritas utama. Yah, namanya juga Miss Universe... bukan Miss Scientific 'kan? Kalau memang mau menyeleksi Miss Cerdas tentunya ajang ini patut berubah nama menjadi Miss Smart & Genious :-p Heuehuehe!

Mas Q says:
Yang jelas sih, kebanyakan peserta Miss Universe adalah wanita2 berpendidikan. Banyak atau malah sebagian besar telah bergelar Master, atau sedang menempuh pendidikan Master (Artika juga sedang ambil S2 Hukum di UGM lho). Jadi mereka itu bukan cuma wanita cantik bermodal body aduhai dan senyum genit. Sisi Brain kayaknya emang nggak digali saat kontes, tapi dinilai dari latar belakangnya.

dodY says:
Wah... kalau memang latar belakang seperti itu yang dijadikan acuan; sepatutnya penganugerahan mahkota Sang Ratu Ayu Sejagat ini diberikan kepada peserta yang setidaknya telah mencapai tahap post-doctoral. Namun apa kah demikian kenyataanya? Hehehe... saya rasa kok masih jauh dari itu yah :-)

It's Business As Usual
Ada satu lagi perspektif segar. Dalam dunia yang serba kejam ini kiranya kita patut memandang hal ini sebagai sebuah ajang bisnis multi-milyar dollar. Seperti pada tag-line reality show "the apprentice": it's nothing personal, it's just business as usual. Bayangkan, berapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan Badan Pariwisata Thailand untuk proses bidding dan penyelenggaraan ajang kecantikan ini. Belum lagi dengan nantinya Miss Universe terpilih akan diundang ke berbagai negara untuk sederetan acara yang sifatnya komersial. Business owner pun tak tanggung-tanggung mengeluarkan banyak uang untuk bisa mendatangkan sang ratu sejagat itu. Hehehe... siapa yang tidak tergiur? *jangan ngeres dulu*. Belum lagi penyelenggaraan acara yang dipaksakan pada waktu pagi hari demi menyesuaikan publik (penonton) di Amerika sono :-p Memang benar: NBC rules! Dia berhasil memaksa sekian ribu orang di Bangkok (peserta dan penonton) untuk mengenakan busana malam dan bersolek menor demi tampil cantik di depan "penonton NBC" di negri paman Sam itu! Hello... minna-san.. this is 8 o'clock in the morning... belum sampe malam hari tau!

Meminjam pendapat Nelfa; "this show is a good entertainment", terlepas dari kontroversi setuju-tidak setuju yang terjadi di negri ini. Orang bisa saja mencela dan memuji salah satu peserta di ajang Miss Universe. Dan percaya lah... ini lah asiknya nonton sebuah acara kontes kecantikan. It makes a good entertainment! Dan ingat: good entertainment makes good money! Harap rujuk kembali kepada prinsip bisnis yang sudah saya sampaikan di atas.

Creating International Awareness
Berlindung di balik promosi pariwisata pun sebenarnya tak sepenuhnya benar. Pengukuran secara ilmiah akan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan asing tidak bisa serta merta dikaitkan dengan hal ini bukan? Jadi mungkin lebih patut kalau keikutsertaan seorang peserta dalam kompetisi Miss Universe dipandang sebagai salah satu bentuk usaha pengingkatan awareness pada masyarakat internasional. Jujur saja: sudah jadi rahasia umum kalau banyak masyarakat di luar negri yang lebih kenal Bali ketimbang Indonesia. Atau lebih parah lagi: mengira Indonesia adalah bagian dari Bali.

Jadi memang bukan lah sebuah usaha skala besar karena seorang Miss Universe sekali pun tak kan mampu menjangkau sekian milyar penghuni planet ini dalam kepentingan promosi pariwisatanya. Kita patut mengingat bahwa mungkin tak cukup satu orang untuk merubah dunia; tapi jangan lah lupa kalau satu orang itu mampu memberikan perubahan (walau pun kecil) yang berarti bagi seluruh umat manusia di dunia ini.

Phheewwhh... capek pisan nulis panjang seperti ini :-p Posting ini sesungguhnya saya persiapkan sebagai komentar terhadap salah satu posting terbaru dari bapak yang satu ini. Namun secara Haloscan sering ngadat dan ngambek maka saya pun ikut-ikutan geram. Dari pada sebagian besar tulisan tak dapat tersampaikan maka saya buat lah posting tersendiri seperti pada saat ini. Saya berharap kegigihan perjuangan Artika, kontroversi ratu sejagat serta berbagai aspek yang sudah saya sampaikan tersebut mampu memperluas khasanah pengetahuan dan wawasan anda sekalian. Dan pastinya semoga posting ini dapat memberikan inspirasi tersendiri untuk keceriaan hari-hari minna-san! Have a hardrocking week :-)

groetjes,

dodY
xxxx

PS. Untuk liputan yang lebih lengkap dan mendalam mengenai ajang Ratu Ayu Sejagat ini silakan saja mampir pada situs resmi Miss Universe di sini.

posted by dodY @ 19:43




Dody Priambodo
Jakarta, Indonesia
mazuta2222@yahoo.com

dodY defines himself as a self-proclaimed late-twenties plain guy. after... God knows how many years, he finally managed to get out from FE Univ. Airlangga. lately, figuring out how to enjoy the heavy workload and endless boredom at work seems to be a challenging adventure. this guy considers himself highly energetic and vibrant, yet balancing banalities of being an incurable drama queen proves to be a full-time challenge. he sees himself clamored by surroundings of good friends that last for a lifetime. how? by ruling the cyber world for sure! this man confidently regards himself as half-Queenslander and being a huge fan of Brisbane Broncos is only a matter of local pride.

dodY lures himself into watchable flicks, smooth jazz, and delectable food. healthy recipes? oh, that stands merely as an unnecessary option! dodY claims himself a huge fan of Hanshin Tigers as a cover-up of having lack interest in sport. he lays great admiration on Carol Shields as much as his enjoyment toward her works. dodY finds an ultimate pleasure on his addiction to "jalan-jalan"; which refers to plenty of travel with lots of leisure. and, oh! this fellow thinks himself as an expert in Community-Development issue in the future. now, let dodY develop himself to behave well for the sake of a community to exist!


blog ini lebih cihuy dibuka pake Get Firefox! cobain deh!
ShoutBox
Previous Posts
Archives
Navigation
Credits
Powered by Blogger.com
Comments Powered by Haloscan.com
visit pralangga.org